MODUL 4
HAKIKAT BERBICARA
Pendahuluan
Modul keempat ini berisi pembicaran mengenai hakikat berbicara. Pembicaraan berpusat pada tiga masalah pokok, yakni:
(1) pengertian, peranan, dan tujuan berbicara
(2) konsep dasar berbicara
(3) jenis-jenis berbicara
pengkajian mengenai ketiga hal tersebut di atas sangat strategis dan penting karena berbagai alasan. Pertama, hakikat berbicara merupakan dasar pengetahuan yang sangat fungsional dalam rangka memahami seluk beluk berbicara. Ketiga butir tersebut di atas perlu dipahami oleh mahasiswa sehingga pengetahuan dan pengalaman berbicara yang telah mereka miliki dan alami selama ini menjadi lebih bermakna. Pernyataan tersebut di atas mengandung makna bahwa pengetahuan dan pengalaman berbicara mahasiswa dihubungkan dnegan teori. Itulah alasan kedua.
Setelah mengkaji materi modul ini, Anda diharapkan dapat mengenal, memahami, dan mengetahui pengertian berbicara, peranan berbicara, tujuan berbicara, konsep dasar berbicara, dan jenis-jenis berbicara.
Modul ini dapat Anda pelajari dengan berbagai cara. Misalnya dengan cara mandiri, diskusi dalam kelompok kecil atau besar, atau mengkin juga dengan cara tutorial. Cara mana yang akan dipilih tergantung dari situasi. Cara mana pun yang Anda pilih tidak menjadi persoalan, asal pada akhir proses belajar mengajar Anda dapat:
(1) menjelaskan pengertian berbicara
(2) mengidentifikasi peranan berbicara
(3) memberikan contoh peranan berbicara
(4) mengidentifikasi tujuan berbicara
(5) memberikan contoh tujuan berbicara
(6) mengidentifikasi konsep dasar berbicara
(7) menyebutkan dasar-dasar pengklarifikasian berbicara
PENGERTIAN, PERANAN, DAN TUJUAN BERBICARA
Manusia adalah mahluk sosial. Manusia baru akan menjadi manusia, bila ia hidup dalam lingkungan manusia. Mereka selalu hidup berkelompok mulai dari kelompok kecil, misalnya keluarga, sampai kelompok yang besar seperti organisasi sosial. Dalam setiap kelompok itu mereka berinteraksi.
Interaksi antarwarga kelompok ditopang dan didukung oleh alat komunikasi vital yang mereka miliki dan pahami bersama, yakni bahasa. Di mana ada kelompok manusia, maka disitu pasti ada bahasa. Kenyataan ini berlaku baik pada masyarakat tradisional maupun pada masyarakat modern. Jelas dalam setiap masyarakat itu diperlukan keterampilan berkomunikasi lisan dan tulisan. Komunikasi tulisan lebih banyak digunakan dalam masyarakat modern timbang masyarakat tardisional.
Komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam garis besarnya dikenal dua cara, yakni komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal menggunkan bahasa sebagi sarana. Komunikasi non-verbal menggunakan saranaseperti gerak-gerik, bunyi bel, bendera, warna, gambar, dan sebagainya. Di antara kedua jenis kmunikasi itu, komunikasi verbal yang dianggap paling sempurna, efisien, dan efektif. Karena bahasa dapat kita bagi menjadi bahasa lisan dan tulisan maka komunikasi verbal pun dapat pula dibagi menjadi komunikasi lisan dan komunikasi tulisan.
Komunikasi lisan sering terjadi dalam kehidupan manusia. Misalnya dialog antar lingkungan keluarga atau percakapan antara anak, ibu, dan ayah; percakapan antara anggota rukun tetangga; percakapan antara pembeli dan penjual di pasar; perdebatan sengit antara peserta yang pro dan kontra dalam forum debat wanita karir; tanya jawab yang hangat antara dosen dan mahasiswa dalam perkuliahan; adu argumentasi yang menarik antara peserta suatu seminar; percakapan melalui telepon; pidato radio; laporan pandangan mata pertandingan olah raga dan sebagainya.
Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap komunikasi lisan tersebut, di bawah ini disajikan beberapa contohnya. Baca baik-baik dan pahami contoh tersebut. Perhatikan faktor-faktor apa saja yang terlibat didalamnya.
(1) Percakapan Teman Sekelas
BERAPA
Tiga orang bersahabat, teman sekelas pulang bersama. Mereka berjalan kaki sambil memperbincangkan nilai membaca yang mereka peroleh. Ketiga orang itu ialah Ani, Ida, dan Tuti. Nilai membaca Ani kurang cemerlang.
Ani : “Nilai membaca Ani kurang memuaskan”.
Ida : “Berapa nilai membacamu, Ani?”
Tuti : “Sebut dong! Berapa nilai membacamu, Ani?”
Ani : (Enggan, malah bercampur malu) “Hanya tujuh”.
Kemudian Anibertanya kepada Ida dan Tuti.
Ani : “Nilai membacamu berapa, Ida? Nilai membacamu berapa, Tuti?”
Ida : “Nilai membaca Ida sangat baik”.
Ani : “Berapa?”
Ida : “Sembilan”.
Ani : “Bagus sekali, Ida! Kamu berapa, Tuti?”
Tuti : “Hanya delapan”.
Ani : “Delapan juga cukup bagus. Nilai membaca saya yang rendah”.
Ani berjanji dalamhati. Pada ulangan berikutnya nilai itu harus ditingkatkan.
(2) Percakapan Anggota Keluarga
MENAMBAH KAMAR TIDUR
KELUARGA Pak Sabar sedang duduk-duduk di ruang depan. Mereka sedang memperbincangkan sesuatu.
“Begini,” kata Adi mulai menjelaskan gagasannya. “Kita perlu membangun satu kamar tidur lagi. Tempatnya di belakang dekat dapur,” tambah Adi.
“Ya, saya setuju akan ide itu,” kata Ibu Sabar. “Betul, saya juga setuju hal itu,” sambung Ida. “Benar ada kamar tidur buat tamu,“ kata Ida lagi. “Nah, semuanya setuju,” sambung Adi lagi.
“Tunggu dahulu,” sela Pak Sabar, “Harus jelas berapa biayanya. Dari mana sumbernya,“ kata beliau.
“Mudah diatur, ayah,” jawab Adi. “Bahan diusahakan sendiri. Batu pasir diambil di kali. Atap, dinding, dan pintunya bekas lumbung padi. Tinggal beli paku, kunci-kunci dan cat saja, Ayah,” kata Adi. “Tukang?” sela Ibu Sabar. “Yah, tukang diupah atau minta tolong tetangga,” kata Adi agak ragu.
“Ya, kalau begitu ayah setuju,” kata Pak Sabar. “Susun perencanaannya lebih cermat. Minggu depan kita kerjakan.” Kata Pak Sabar dengan gembira.
“Ya, semuanya setuju membangun kamar tidur baru,” kata Ida kegirangan. Semua tertawa dan senang.
(3) Percakapan Ibu dan Anak
BENARKAH?
Ibu : Adi, kemari sebentar, Nak!
Adi : Ya, Bu. Ada apa, Bu?
Ibu : Ibu dengar kabar Adi luka. Benarkah itu?
Adi : Benar, Bu! Sudah diobati, tidak berat.
Ibu : Benarkah Adi berkelahi?
Adi : Ah, Ibu. Dari mana Ibu mendapat kabar seperti itu? Kelahai? Itu tidak benar, Bu. Itu fitnah.
Adi memang melerai du teman yang berkelahi. Akibatnya, Adi sendiri yang luka. Itupun sedikit.
Ibu : Benar Adi dihukum?
Adi : Mana mungkin, Ibu. Masa saya mendamaikan, saya lagi yang dihukum. Itu kabar bohong, Bu!
Ibu merasa lega kini. Adi bukan anak yang nakal. Semuanya berita bihing belaka.
Ibu : Ayo teruskan pekerjaanmu.
Adi pergi meninggalkan Ibu. Ia meneruskan pekerjaan PR-nya.
(4) Bertelpon
TV RUSAK LAGI
Hasan : Hallo, 56902?
Operator : Ya, 56902, Columbia Elektronik.
Selamat sore!
Dengan siapa saya bicara?
Hasan : Pak Hasan, Jln. Setiabudi 229.
Operator : Mau bicara dengan siapa, Pak?
Hasan : Dengan Sdr. Roni, bagian servis.
Operator : Tunggu sebentar, Pak. Saya sambungkan dengan Pak Roni.
Roni : Hallo, dengan siapa saya bicara?
Hasan : Ini Pak Hasan, Setiabudi 229.
Televisinya mogok lagi.
Gambar bergoyang, suara berdesis.
Mohon perbaiki lagi.
Roni : Baik, Pak. Saya segera datang ke rumah Bapak.
Hasan : Terima kasih. Bapak tunggu kedatangan Sdr. Roni.
(5) Laporan Pandangan Mata
Saudara pemirsa di seluruh Tanah Air.
Inilah penyiar Anda Sambas melaporkan pandangan mata pertandingan sepak bola antara Persib Bandung dengan PSMS Medan, langsung dari Senayan Jakarta.
Bola sekarang dikuasai penuh oleh Ajat Sudrajat. Ia berliku-liku melintasi barisan pertahanan PSMS. Ajat mengoper bola ke rusuk kiri Sunardi B dan Sukowati cpat menguasai bola. Di kontrol sebentar lalu dengan kaki kiri menendang bola ke gawang PSMS.
Untung saja saudara-saudara pemirsa, Ponirin kiper PSMS berada pada posisi yang tepat. Bola lengket dipelukan Ponirin. Bola dilambungkannya ke rusuk kiri, maksudnya pada Sunardi A, tetapi sayang gelandang kanan Persib menunduk bola ke daerah PSMS. Kini Ajat Sudrajat lagi menguasai bola. Dua pemain belakang PSMS dapat dilaluinya. Sayang tembakan Ajat melayang di atas mistar.
Saudara pendengar pertandingan semakin seru. Stand masih kosong-kosong...dan seterusnya.
Dari setiap contoh jenis berbicara tersebut di atas, terdapat persamaan tertentu. Misalnya selalu ada pembicara yang membicarakan, mengutarakan, atau menyampaikan sesuatu kepada lawan berbicaranya atau pendengarnya. Interaksi antara pembicara dan pendengar ada langsung dan ada pula yang tak langsung. Interaksi langsung dapat bersifat dua arah atau multi arah. Interaksi tak langsung sudah pasti bersifat searah. Pembicara berusaha agar pendengar memahami atau menagkap makna apa yang disampaikannya. Komunikasi lisan dalam setiap contoh itu selalu berlangsung dalam waktu, tempat, suasana, yang tertentu pula. Sarana untuk menyampaikan sesuatu ide selalu digunakan bahasa lisan. Dalam setiap contoh itu terjadi peristiwa berbicara.
Peristiwa berbicara akan berlangsung apabila dipenuhi sejumlah persyaratan. Persyaratan itu antara lain:
1. pengirim : orang yang menyampaikan pesan
2. pesan : isi pembicaraan
3. penerima : orang yang menerima pesan
4. media : bahasa lisan
5. sarana : waktu, tempat, suasana, peralatan yang digunakan dalam penyampaian pesan.
6. inteteraksi : searah, dua arah, atau multi arah.
Pengirim pesan itu akan berlangsung baik apabila ada pemahaman. Artinya, penerima pesan memahami dan menangkap pesan yang disampaikan oleh pembicara melalui bahasa lisan. Dalam garis besarnya, kualitas pemahaman dapat dibagi atas tiga kategori, yakni:
1. baik : pesan yang dikirim sama dengan pesan yang diterima.
2. sedang : pesan yang diterima agak mendekati pesan yang dikirmkan.
3. jelek : pesan yang diterima hanya sedikit persamaannya dengan pesan yang dikirmkan.
Dari penjelasan, uraian, dan contoh-contoh tersebut diatas dapatlah dismpulkan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Kaitan antara pesan dan bahasa lisan sebagai media penyampaian sangat erat. Pesan yang diterima oleh pendengar tidaklah dalam wujud asli, tetapi dalam bentuk lain yakni bunyi bahasa. Pendengar kemudian mencoba mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi bentuk semula. Karena itulah maka sering kita dengar ungkapan “medium is message”. Bila ungkapan itu kita hubungkan dengan ucapan Marrie M. Sewart dan Kenneth Zimmer “The heart of communication is the message”, dan ucapan Mary dan Bonomo “Language is the communication”, maka semakin jelas kaitan antara bahasa dan pesan itu.
Dipandang dari segi bahasa, menyimak dan berbicara dikategorikan sebagai keterampilan berbahasa lisan. Dari segi komunikasi, menyimak dan berbicara diklasifikasikan sebagai komunikasi lsian. Melalui berbicara orang menyampaikan informasi melalui ujaran kepada orang lain. Melalui menyimak orang menerima informasi dari orang lain. Kegiatan berbicara selalu diikuti kegiatan menyimak, atau kegiatan menyimak pasti ada di dalam kegiatan berbicara. Dua-duanya fungsional bagi komunikasi, dua-duanya tak terpisahkan. Ibarat matau uang, sisi muka ditempati kegiatan berbiacara sedang sisi belakang ditempati kegiata menyimak. Sebagaimana mata uang tidak akan laku bila kedua sisinya tidak terisi, maka komunikasi lisan pun tak akan berjalan bila kedua kegiatan tidak berlangsung saling melengkapi.
Keterampilan berbahasa yang mencakup empat aspek yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis sering dikatakan satu tetapi empat, atau empat tetapi satu jua adanya. Istilah yang tepat untuk melukiskan hal ini adalah catur tunggal. Keempat-empatnya berkaitan erat.
Keterampilan berbicara menunjang keterampilan menyimak, membaca, dan menulis. Pembicara yang baik merupakan contoh yang dapat ditiru oleh penyimak. Pembicara yang baik selalu berusaha agar penyimaknya menangkap isi pembicaraannya. Keterampilan berbicara juga menunjang keterampilan menulis. Bukankah berbicara pada hakikatnya sama dengan menulis, paling tidak dalam segi ekspresi atau segi informasi? Hasil berbicara bila direkam dan disalin kembali sudah merupakan tulisan. Penggunaan bahasa dalam berbicara banyak kesamaannya dengan penggunkaan dalam bahan bacaan. Apalagi organisasi pembicaraan kurang lebih sama dengan pengorganisasian isi bahan bacaan.
Dalam hidup bermasyarakat manusia sering mengadakan komunikasi lisan. Sewaktu duduk di ruang tamu anggota keluarga bercakap, memperbincangkan ssuatu, atau menyatakan keinginan, harapan, dan anjuran. Dalam situasi ini setiap anggota keluarga dituntut terampil menyampaikan dan menerima informasi. Ke luar dari lingkungan keluarga, mereka mungkin harus pula berkomunikasi dengan tetangga, teman satu sekolah, rekan sekerja, kawan sepermainan atau ichwan seprofesi. Dalam situasi seperti inisetiap individu pesertanya dituntut terampil berbicara.
Para pelajar dan mahasiswa dalam proses pendidikannya dituntut terampil berbicara. Mereka harus dapat mengekspresikan pengetahuan yang telah mereka miliki secara lisan. Mereka pun harus terampil mengajukan pertanyaan untuk menggali dan mendapatkan informasi apalagi dalam kegiatan seminar, diskusi, dan dalam rapat-rapat, mereka dituntut terampil adu argumentasi, terampil menjelaskan persoalan dan cara pemecahannya, dan terampil menarik simpati para pendengarnya.
Anda mau memilih profil di bidang mana? Bidang mana pun yang Anda pilih sebagai tempat berkarya, Anda harus terampil berbicara. Sebagai pengajar, Anda juga harus terampil berbicara dalam menyampaikan bahan pelajaran. Anda dipilih sebaga3. pimpinan perusahaan? Disitu pun Anda harus pandai berbicara dengan relasi, karyawan, atau atasan Anda. Bila Anda ingin jadi pimpinan organisasi sosial, atau pejabat di pemerintahan, disitu pun Anda tidak luput dari tuntutan terampil berbicara.
Anda harus dapat menjelaskan rencana, kegiatan, dan cita-cita Anda. Anda pun harus terampila berbicara untuk meyakinkan, membujuk, atau menggerakkan massa. Apalagi bila pilihan Anda jatuh pada bidang periklanan, penyiar radio atau televisi, wartawan, hubungan masyarakat, dan pembawa acara: Anda dituntut ahli, terampil, dan cekatan dalam berbicara.
Pembicara yang terampil di ddepan umum dapt kita bedakan atas dua golongan. Golongan pertama ialah pembicara yang mempunyai sesuatuhal untuk disampaikan. Pembicara golongan kedua ialah pembicara yang harus menyampaikan sesuatu kepada pendengarnya.
Kedua golongan ini mempunyai tujuan yang berbeda dalam berbicara di depan umum. Pembicara golongan pertama biasanya merinci tujuan pembicaraannya sekecil-kecilnya. Pembicara kedua biasanya tujuan pembicaraannya semata-mata memenuhi kewajiban saja.
Perhatikan orang yang berbicara. Anda akan dapat mengidentifikasi apa tujuan mereka berbicara. Tujuan berbicara biasanya dapat dibedakan atas lima golongan, yakni:
1. menghibur
2. menginformasikan
3. menstimulasi
4. meyakinkan
5. menggerakkan
Sesuai dengan namanya, berbicara untuk menghibur para pendengar, pembicara menarik perhatiannya dengan berbagai cara seperti humor, spontanitas, menggairahkan, kisah-kisah jenaka, petualangan, dan sebagainya. Humor yang orisinil baik dalam gerak-gerik, cara berbicara, cara menggunakan kata atau kalimat akan menawan pembicara. Tujuan berbicara untuk menghibur biasanya dilakukan oleh pelawak, pemain dagelan seperti Srimulat, pembawa acara, penghibur, dan sejenisnya. Suasana pembicaraan pun biasanya santai, rileks, penuh canda, dan menyenangkan.
Berbicara untuk tujuan menginformasikan, untuk melaporkan, dilaksanakan bila seseorang ingin:
1. menjelaskan suatu proses
2. menguraikan, menfsirkan, atau menginterpretasikan sesuatu hal
3. memberi, menyebarkan, atau menanamkan pengetahuan
4. menjelaskan kaitan, hubungan, relasi atara benda, hal, atau peristiwa.
Berbicara untuk menyampaikan informasi banyak sekali dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh perhatikan pembicaraan berikut ini. Ibu Tuti menerangkan dengan rinci bagaimana cara merangkai bunga di depan Ibu-ibu PKK. Pak Rubini menguraikan cara kerja komputer di depan siswa-siswinya. Prof. Sukanto menjelaskan kaitan KB, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan keluarga pada peerta seminar. Susi menjelaskan cara membuat kue kepada ibu-ibu di kantor kepala desa.
Kadangkala pembicara berupaya membangkitkan inspirasi, kemauan, atau minat pendengarnya atau melaksanakan sesuatu, misalnya guna membangkitkan semangat dan gairah siswanya dengan pidato atau nasehat-nasehatnya untuk mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah mereka. Kegiatan seperti yang dilakukan oleh guru tersebutlah yang dimaksud dengan berbicara untuk menstimulasi.
Berbicara untuk menstimulasi pendengar jauh lebih kompleks dari berbicara untuk menghibur atau berbicara untuk menginformasikan, sebab, pembicara harus pintar merayu, mempengaruhi, atau meyakinkan pendengarnya. Ini dapat tercapai jika pembicara benar-benar mengetahui kemauan, minat, inspirasi, kebutuhan, dan cita-cita pendengarnya. Berdasarkan keadaan itulah pembicara membakar semangat dan emosi pendengarnya sehingga pada akhirnya pendengar tergerak untuk mengerjakan apa-apa yang dikehendaki pembicara.
Tujuan utama berbicara untuk meyakinkan ialah meyakinkan pendengarnya akan sesuatu. Melalui pembicaraan yang meyakinkan, sikap pendengar dapat diubah misalnya dari sikap menolak menjadi sikap menerima. Misalnya bila seseorang atau sekelompok orang tidak menyetujui suatu rencana, pendapat atau putusan orang lain, maka orang atau kelompok tersebut perlu diyakinkan bahwa sikap mereka tidak benar. Melalui pembicara yang terampil dan disertai dengan bukti, fakta, contoh dan ilustrsi yang mengena, sikap itu dapat diubah dari tak setuju menjadi setuju.
Di dalam berbicara atau pidato menggerakkan massa yaitu pendengar berbuat, bertindak, atau beraksi seperti yang dikehendaki pembicara merupakan kelanjutan, pertumbuhan, atau perkembangan berbicara untuk meyakinkan. Dalam berbicara untuk menggerakkan diperlukan pembicara yang berwibawa, panutan, atau tokoh idola masyarakat. Melalui kepintaran berbicara, kelihatannya membakar emosi, kecakapan memanfaatkan situasi, ditambah penguasaan terhadap ilmu jiwa-massa, pembicara dapat menggerakkan pendengarnya. Misalnya, Bung Tomo dapat membakar semangat dan emosi para pemuda di Surabaya, sehingga mereka berani mati mempertahankan tanah air. Mereka menyerang penjajah di kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
KONSEP DASAR BERBICARA
Kemampuan berbicara, menyatakan maksud dan perasan secara lisan, sudah dipelajari dan mungkin sekali sudah dimiliki siswa sebelum masuk sekolah. Taraf kemempuan berbicara siswa ini bervariasi mulai dari taraf baik dan lancar, sedang, gagap, atau kurang. Ada siswa yang lancar menyatakan keinginan, rasa senang, sedih, sakit atau letih. Bahkan mungkin dapat menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu walau dalam taraf sederhana. Beberapa siswa belum dapat menyatakan dirinya secara efisien. Beberapa siswa lainnya masih takut-takut berdiri dihadapan teman sekelasnya. Bahkan tidak jarang kita lihat beberapa siswa berkeringat dingin, berdiri kaku, lupa segalanya bila is berhadapan dengan sejumlah siswa lainnya.
Kenyataan tersebut di atas hendaknya dijadikan sebagai landasan pengajaran bebricara di sekolah. Disamping pengajaran berbicara pun harus berlandaskan konsep dasar berbicara sebagai sarana berkomunikasi dan sejumlah landasan lainnya. Dalam sub pokok bahasan ini kita hanya berbicara khusus mengenai konsep dasar berbicara tersebut di atas.
Konsep dasar berbicara sebagai sarana berkomunikasi mencakup sembilan hal, yakni:
1) berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal
2) berbicara adalah proses individu berkomunikasi
3) berbicara adalah ekspresi kreatif
4) berbicara adalah tingkah laku
5) berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari
6) berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman
7) berbicara sarana memperluas cakrawala
8) kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat
9) berbicara adalah pancaran pribadi (Logan dkk, 1972: 104-105)
(1) Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal
Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak terpisahkan, ibarat mata uang: satu sisi ditempati kegiatan berbicara dan sisi lainnya ditempati kegiatan menyimak. Kegiatan menyimakpasti didahului oelh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara baru berarti bila diikuti kegiatan menyimak. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan terpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelpon, tanya jawab, interview dan sebagainya.
Dalam komunikasi lisan, pembicara dan penyimak berpadu dalam suatu kegiatan yang resiprokal berganti peran secara spontan, mudah, dan lancar dari pembicara menjadi penyimak, dari penyimak menjadi pembicara. Pembicara cemas akan kepastian responsi pendengar. Pendengar baru dapat memberikan responsi yang tepat bila ia memahami pesan yang disampaikan pembicara.
Kegiatan berbicara dan menyimak saling mengisi, saling melengkapi. Tidak ada gunanya orang berbicara bila tidak ada orang yang manyimaknya. Tidak mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang berbicara. Karena itulah maka dikatakan kegiatan berbicara dan menyimak dua kegiatan yang bersifat resiprokal.
(2) Berbicara adalah proses individu berkomunikasi
Berbicara ada kalanya digunakan sebagai alat komunikasi dengan linkungannya. Bila hal ini dikaitkan dengan fungsi bahasa maka berbicara digunkana sebagai sarana memperoleh pengetahuan mangadaptasi, mempelajari lingkungannya, dan mengontrol lingkungannya. Fungsi heuristik sering disampaikan dalam bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban.
Perhatikanlah bagaimana seorang anak menggunakan bahasa (berbicara) untuk mengadapatsi lingkungannya melalui pengajuan sejumlah pertanyaan: Apa? Mengapa? Bagaimana? Anak tersebut menggunakan keterampilan sebagai alat mempengaruhi dan mengontrol lingkungannya dan pada gilirannya lingkungan itu pun mempengaruhi dirinya. Berbicara adalah salah satu alat komunikasi terpenting bagi manusia untuk dapat menyatakan diri sebagi anggota masyarakat.
(3) Berbicara adalah ekspresi kreatif
Melalui berbicara kreatif, manusia melakukan tidak sekedar menyatakan ide, tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Tidak hanya dia menggunakan pesona ucapan kata dan dalam menyatakan apa yang hendak dikatakannya tetapi dia menyatakan murni, fasih, ceria, dan spontan. Perkembangan persepsi dan kepekaan terhadap perkembangan kreativitas tertinggi dan ekspresi intelektual. Bergantung kepada si pembicaralah apakah dia mampu menjadikan berbicara (komunikasi lisan) itu menjadi ekspresi kreatif atau hanya pendekatan belaka. Karena itu dikatakan berbicara tidak sekedar alat mengkomunikasikan ide belaka, tetapi juga alat utama untuk menciptakan dan menformulasikan ide baru.
(4) Berbicara adalah tingkah laku
Berbicara adalah ekspresi pembicara. Melalui berbicara, pembicara sebenarnya menyatakan gambaran dirinya. Berbicara merupakan simbolisasi kepribadian si pembicara. Berbicara juga merupakan dinamika dalam pengertian melibatkan tujuan pembicara kepada kejadian disekelilingnya kepada pendengarnya, atau kepada objek tertentu.
Dalam Bahasa Indonesia, kita juga menemui peribahasa, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Makna peribahasa tersebut ialah cara kita berbahasa, berbicara, bertingkah laku menggambarkan kepribadian kita. Dalam kepribadian itu sudah terselip tingkah laku kita. Karena itu sudah terselip tingkah laku kita. Karena itu tepatlah dikatakan berbicara adalah tingkah laku kita.
(5) Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari
Berbicara sebagi tingkah laku, sudah dipelajari di lingkungan keluarga, tetangga, dan lingkungan lainnya di sekitar tempatnya hidup sebelum masuk ke sekolah. Walaupun seseorang sudah dapat mengekspresikan dirinya secara lisan , sebelum mereka diajar secara formal mereka tetap memerlukan bimbingan untuk mengembangkan keterampilan berbicara mereka. Hal ini lebih-lebih diperlukan oleh seseorang yang belum memiliki kemampuan berbicara yang normal atau kemampuan berbicaranya kurang.
Seseorang memerlukan kesempatan berlatih danbelajar berbicara. Keterampilan berbicara seseorang harus dibina melalui latihan:
1. pengucapan
2. pelafalan
3. pengontrolan suara
4. pengendalian diri
5. pengontrolan gerak-gerik tubuh
6. pemilihan kata, kalimat dan pelafalannya
7. pemakaian bahasa yang baik
8. pengorganisasian ide
keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang mekanistis. Semakin banyak berlatih berbicara, semakin dikuasai keterampilan berbicara itu. Tidak ada ornag yang langsung terampil berbicara tanpa proses latihan. Berbicara adalah tingkah laku yang harus dipelajari, baru bisa dikuasai.
(6) Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman
Berbicara adalah ekspresi diri. Bila diri si pembicara terisi oleh pengetahuan dan pengalaman yang kaya, maka dengan mudah yang bersangkutan menguraikan pengetahuan atau pengalamannya itu. Bila pembicara miskin pengetahuan dan pengalaman, maka yang bersangkutan akan mengalami kesukaran dalam berbicara.
Hal yang sama terjadi juga pada anak-anak. Anak-anak yang memiliki pengalaman yang banyak, bervariasi, kaya, dengan mudah pula menampilkan dirinya melalui berbicara. Anak-anak yang kurang pengalaman, yang merasa apa yang dimilikinya kurang penting biasanya sulit berbicara dan menjadi manusia yang pendiam.
(7) Berbicara sarana memperluas cakrawala
Paling sedikit berbicara dapat digunakan untuk dua hal. Yang pertama untuk mengeksprsikan ide, perasaan, dan imajinasi. Kedua, berbicara dapat juga digunakan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pengalaman.
(8) Kemampuan linguistik dan lingkungan
Jika dalam lingkungan hidupnya seseorang sering diajak berbicara, dan segala pertanyaannya diperhatikan dan dijawab, serta lingkungan itu sendiri menyediakan kesempatan untuk belajar dan berlatih berbicara maka dapat diharapkan seseorang tersebut terampil berbicara.
(9) Berbicara adalah pancaran pribadi
Gambaran pribadi seseorang dapat diidentifikasikan dengan berbagai cara. Kita dapat menduga melalui gerak-geriknya, tingkah lakunya, kecenderungannya, kesukaannya, dan cara bicaranya. Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati, misalnya pikiran, perasaa, keinginan, idenya dan lain-lain. Karena itu sering dikatakan bahwa berbicara adalah indeks kepribadian.
Kualitas suara, tinggi suara, nada dan kecepatan suara dalam berbicara merupakan indikator keadaan emosi seseorang. Berbicara adalah gambaran kepribadian.
Keterampilan berbicara adalah tingkah laku seseorang yang paling distingtif dan berarti. Tingkah laku itu harus diperlajari, baru dapat dikuasai.
JENIS-JENIS BERBICARA
Bila anda perhatikan berbagai literatur mengenai bahasa dan pengajaran, maka Anda akan menemui berbagai jenis berbicara. Ada diskusi, ada percakapan, ada pidato menghibur, ada ceramah, ada bertelpon, dan sebagainya. Mungkin pula Anda bertanya dalam hati mengapa ada berbagai jenis nama berbicara itu. Jawabnya karena ada berbagai titik pandang yang digunakan orang dalam mengklasifikasi berbicara.
Menurut hasil pengamatan penulis, paling sedikit ada lima landasan yang digunakan dalam mengklasifikasi berbicara. Kelima landasan tersebut adalah:
(1) situasi
(2) tujuan
(3) metode penyampaian
(4) jumlah penyimak
(5) peristiwa khusus
Sekarang kita perbincangkan setiap landasan tersebut di atas kemudian setiap landasan disertai pula dengan penjelasan butir-butir hasil pengklasifikasiannya.
(1) Situasi
Aktivitas berbicara selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana, situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau resmi. Situasi dan lingkungan itu mungkin pula bersifat informal atau tak resmi. Setiap situasi itu menuntut keterampilan berbicara tertentu. Dalam situasi formal permbicara dituntut berbicara secara formal pula. Sebaliknya dalam situasi tak formal, pembicara harus berbicara secara tak formal pula.
Kegiatan berbicara yang bersifat informal banyak dilakukan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kegiatan ini dianggap perlu bagi manusia dan perlu dipelajari.
Jenis-jenis (kegiatan) berbicara informal meliputi:
1. tukar pengalaman
2. percakapan
3. menyampaikan berita
4. menyampaikan pengumuman
5. bertelpon
6. memberi petunjuk (Logan dkk, 1972: 116)
Disamping kegiatan berbicara informal, kita temui pula kegiatan berbicara yang bersifat formal. Jenis-jenis (kegiatan) berbicara formal tersebut mencakup:
1. ceramah
2. perencanaan dan penilaian
3. interview
4. prosedur parlementer
5. bercerita (Logan dkk, 1972: 116)
(2) Tujuan
Di bagian akhir pembicaraan, pembicara menginginkan mendapat responsi dari pendengarnya. Responsi pendengar yang bagaimana yang diharapkan oleh pembicara? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut mengarahkan perhatian kita kepada tujuan berbicara. Tujuan berbicara sudah menjadi bahan pembicaraan di kalangan para ahli dari dahulu sampai sekarang.
Pada umumnya tujuan orang yang berbicara adalah untuk menghibur, menginformasikan, menstimulasi, meyakinkan, atau menggerakkan pendengarnya. Sejalan dengan tujuan pembicara tersebut di atas dapat pula kita klasifikasi berbicara menjadi lima jenis, yakni:
1. berbicara menghibur
2. berbicara menginformasikan
3. berbicara menstimulasi
4. berbicara meyakinkan
5. berbicara menggerakkan
Berbicara menghibur biasanya bersuasana santai, rileks, dan kocak. Soal pesan bukanlah tujuan utama. Namun tidak berarti bahwa berbicara menghibur tidak dapat membawakan pesan. Dalam berbicara menghibur tersebut pembicara berusaha membuat pendengarnya senag gembira, dan bersukaria. Contoh jenis berbicara menghibur ini, antara lain lawakan, guyonan dalam ludruk, Srimulat, cerita Kabayan, cerita Abu Nawas.
Berbicara menginformasikan bersuasana serius, tertib, dan hening. Soal pesan merupakan pusat perhatian, baik pembicara maupun pendengar. Dalam berbicara menginformasikan pembicara berusaha berbicara jelas, sistematis, dan tepat isi agar informasi benar-benar terjaga keakuratannya. Pendengar pun biasanya berusaha menangkap informasi yang disampaikan dengan segala kesungguahn.
Beberapa contoh berbicara informasi ini adalah:
1. penjelasan Menteri Sekneg sehabis sidang kabinet
2. penjelasan Menteri Penerangan mengenai sesuatu kejadian, peraturan pemerintah, dan sebagainya.
3. penjelasan PPL di depan kelompok tani
4. penjelasan instruktur pada siswanya.
Berbicara menstimulasi juga bersuasana serius, kadang-kadang terasa kaku. Pembicara berkedudukan lebih tinggi dari pendengarnya. Status tersebut dapat disebabkan oleh wibawa, pengetahuan, pengalaman, jabatan, atau fungsinya melebihi pendengarnya. Dalam bebicara menstimulasi, pembicara berusaha membangkitkan semangat pendengarnya sehingga pendengar itu bekerja lebih tekun, berbuat baik, bertingkah laku lebih sopan, belajar lebih berkesinambungan. Pembicaraan biasanya dilandasi oleh rasa kasih sayang, kebutuhan, kemauan, harapan, dan inspirasi pendengar.
Beberapa contoh berbicara menstimulasi tersebut antara lain:
1. nasehat guru terhadap siswa yang malas, melalaikan tugasnya
2. pepatah, petitih, pengajaran ayah kepada anaknya yang kurang senonoh
3. nasehat dokter pada pasiennya
4. nasehat atasan pada karyawan yang malas
5. nasehat ibu pada putrinya yang patah hati
Berbicara meyakinkan, sesuai namanya, bertujuan meyakinkan pendengarnya. Jelas suasananya pun bersaifat serius, mencekam, dan menegangkan. Melalui keterampilan berbicara, pembicara berusaha mengubah sikap pendengarnya dari tidak setuju menjadi setuju, dari tidak simpati menjadi simpati, dari tidak mau membantu menjadi mau membantu. Dalam berbicara meyakinkan itu, pembicara harus melandaskan pembicaraannya kepada argumentasi yang nalar, logis, masuk akal, dan dapat dipertanggung jawabkan dari segala segi. Beberapa contoh berbicara meyakinkan, antara lain:
1. pidato petugas KBN di depan masyarakat yang anti keluarga berencana
2. pidato petugas Depsos pada masyarakat daerah kritis tetapi segan bertransmigrasi
3. pidato pimpinan partai tertentu di daerah yang kurang menyenangi partai tersebut
4. pidato calon Kepala Desa di daerah yang belum simpati padanya
5. pidato pimpinan BRI pada masyarakat yang lebih senang berhubungan dengan tengkulak
Berbicara menggerakkan pun menuntut keseriusan baik dari segi pembicara maupun dari segi pendengarnya. Berbicara atau pidato menggerakkan merupakan kelanjutan pidato membangkitkan semangat. Bila dalam berbicara meyakinkan dan membangkitkan semangat hasil perbaikan mengarah kepada kepentingan pribadi, maka pidato menggerakkan bertujuan mencapai tujuan bersama. Pembicara dalam berbicara menggerakkan harusalah orang yang berwibawa, tokoh idola, panutan masyarakat. Melalui kepintaran berbicara, kecakapannya membakar emosi dan semangat, kebolehannya memanfaatkan situasi, ditambah penguasaannya terhadap ilmu jiwa massa, pembicara dapat menggerakkan massa ke arah yang diingininya. Misalnya, Bung Tomo dapat membakar semangat juang para pemuda pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
(3) Metode Penyampaian
Pernahkah anda perhatikan dengan cermat bagaimana menyampaikan pembicaraan? Bila belum, cobalah anda perhatikan beberapa pembicara yang sedang berbicara atau berpidato. Anda akan melihat bahwa ada empat cara yang biasa digunakan orang dalam menyampaikan pembicaraannya. Keempat cara yang dimaksud adalah
1. penyampaian secara mendadak
2. penyampaian berdasarkan catatan kecil
3. penyampaian berdasarkan hafalan
4. penyampaian berdasarkan naskah
Berlandaskan keempat cara penyampaian pembicaraan tersebut dapat kita klaifikasi berbicara menjadi empat jenis pula. Keempat jenis berbicara itu disesuaikan namanya dengan metode penyampaian, yakni:
1. berbicara mendadak
2. berbicara berdasrkan catatan kecil
3. berbicara berdasarkan hafalan
4. berbicara berdasarkan naskah
Berbicara mendadak terjadi karena seseorang tanpa direncanakan sebelumnya harus berbicara di depan umum. Hal ini dapat terjadi karena tuntutan situasi. Misalnya karena pembicara yang telah direncanakan berhalangan tampil, maka terpaksa secara mendadak dicarikan penggantinya atau dalam suatu pertemuan seseorang diminta secara mendadak memberikan kata sambutan, pidato perpisahan, dan sebagainya. Dalam situasi seperti ini pembicara harus menggunakan pengalamannya bagi penyusunan organisasi pembicaraannya.
Sejumlah pembicara menggunakan catatan kecil dalam kartu, biasanya berupa butir-butir penting sebagai pedoman berbicara. Berlandaskan catatan itu pembicara bercerita panjang lebar mengenai sesuatu ha. Cara seperti inilah yang dimaksud dengan berbicara berlandaskan catatan kecil. Cara berbicara seperti itu dapat berhasil apabila pembicara sudah mempersiapkan dan menguasai isi pembicaraan secara mendalam sebelum tampil di depan umum.
Pembicara yang dalam taraf belajar mempersiapkan bahan pembicaraannya dengan cermat dan dituliskan dengan lengkap. Bahan yang ditulis itu dihafalkan kata demi kata, lalu tampil berbicara berdasarkan hasil hafalannya. Cara berbicara seperti itu memang banyak kelamahannya. Pembicara meungkin lupa akan beberapa bagian dari isi pidatonya, perhatiannya tidak bisa diberikan kepada pendengar, kaku, dan kurang penyesuaian pada situasi yang ada.
Pembicara membacakan naskah yang disusun rapi. Berbicara berlandaskan nasakh dilaksanakan dalam situasi yang menuntut kepastian, bersifat resmi, dan menyangkut kepentingan umum.
Kelemahan berbicara berdasarkan naskah, antara lain:
1. perhatian pembicara lebih tertuju pada naskah
2. suasana terlalu resmi sehingga kaku
3. pembicara kurang kontak dengan pendengar
Waktu berbicara berlandaskan naskah banyak kelemahannya, berbicara jenis ini tetp banyak dilakukan, misalnya:
1. pidato resmi presiden di DPR/MPR
2. pidato pejabat dalam upacara resmi
3. penyiaran berita di RRI
4. penyiaran berita di TVRI
(4) Jumlah Penyimak
Komunikasi lisan selalu melibatkan dua pihak, yakni pendengar dan pembicara. Jumlah peserta yang berfungsi sebagai penyimak dalam komunikasi lisan dapat bervariasi misalnya satu orang, beberapa orang (kelompok kecil), dan banyak orang (kelompok besar).
Berdasarkan jumlah penyimak itu, berbicara dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu:
1. berbicara antar pribadi
2. berbicara dalam kelompok kecil
3. berbicara dalam kelompok besar
Berbicara antar pribadi, atau bicara empat mata, terjadi apabila dua pribadi membicarakan, mempercakapkan, merundingkan, atau mendiskusikan sesuatu. Suasana pembicaraan mungkin serius dan mungkin pula santai, akrab, dan bebas. Suasana pembicaraan sangat tergantung kepada masalah yang dipercakapkan, hubungan antar dua pribadi yang terlibat. Dalam berbicara antar pribadi, pembicara dan pendengar berganti peran secara otomatis sesuai dengan tuntutan situasi.
Jenis berbicara antar pribadi sering kita jumpai atau terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan anda sendiri pernah melakukannya. Beberapa contoh berbicara antar pribadi atau bicara empat mata adalah:
1. pembicaraan empat mata antara Presiden Soeharto dengan Sultan Brunei
2. percakapan serius antara Ibu dan Ayah
3. perundingan serius antara pasien dan dokter pribadinya
4. diskusi antara dosen pembimbing skripsi dengan mahasiswa
Berbicara dalam kelompok kecil terjadi apabila seorang pembicara menghadapi skelompok kecil pendengar, misalnya tiga sampai lima orang. Pembicara dan pendengar dapat bertukar peran, misalnya, setelah pembicara selesai berbicara diadakan tanya jawab atau diskusi. Mobilitas pertukaran peran pembicara menjadi penyimak atau penyimak menjadi pembaca dalam berbicara dalam kelompk kecil tidaklah setinggi mobilitas pertukaran peran dalam berbicara antar pribadi.
Berbicara dalam kelompok besar terjadi apabila seorang pembicara menghadapi pendengar berjumla besar atau massa. Para pendengar dalam berbicara jenis ketiga ini dapat homogen dan mungkin pula heterogen. Dalam lingkungan pendidikan, misalnya, para pendengar homogen baik dalam usia maupun dalam kemampuan. Dalam rapat besar di lapangan terbuka, di gedung parlemen, atau kampanye pemilihan umum para pendengarnya sangat heterogen.
Mobilitas perpindahan peran dari pembicara menjadi pendengar atau dari pendengar menjadi pembicara dalam jenis berbicara yang ketiga ini relatif kecil bahkan kadang-kadang tidak ada sam sekali. Bila berbicara dalam kelompok besar itu terjadi di ruang kelas, maka ada kesempatan bertanya, mengomentari, menyanggah terhadap isi pembicaraan yang telah disampaikan pembicara. Ini berarti bahwa pendengar dapat pula berperan sebagai pembicara. Bila bertanya dalam kelompok besar itu terjadi di luar bidang pendidikan seperti rapat raksasa, kampanye pemilihan umum, pidato resmi, khotbah di masjid, dan sejenisnya, maka sudah dapat dipastikan tidak ada kesempatan bertanya, berkomentar, atau menyanggah. Dalam situasi seperti ini jelas ada perubahan atau pertukaran peran dari pembicara menjadi pendengar atau dari pendengar menjadi pembicara.
Bagaimana perbandingan kualitas antara pembicara dan pendengar dalam ketiga jenis berbicara di atas? Pembicara dan pendengar dalam berbicara secara pribadi mungkin sama dan mungkin berbeda kualitas. Percakapan antara guru dengan siswanya merupakan contoh kualitas pembicara (guru) lebih tinggi dari siswa. Percakapan yang terjadi antara dua sahabat, teman sekelas melukiskan kualitas pembicara dan pendengar kurang lebih sama. Pembicara dalam berbicara dalam kelompok kecil itu berasal dari satu kelas suatu jenjang sekolah, maka kualitas anggota relatif sama. Kualitas pembicara dalam berbicara dalam kelompok besar pada umumnya dapat dikatakan melebihi kualitas pendengar. Perbedaan tersebut dapat disebabkan berbagai hal seperti tingkat pendidikan, jabatan, integritas pribadi dan sebagainya.
(5) Peristiwa Khusus
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering manghadapi berbagai kegiatan. Sebagian dari kegiatan itu dikategorikan sebagai peristiwa khusus, istimewa, atau spesifik. Contoh kegiatan khusus itu adalah ulang tahun, perpisahan, perkenalan, pemberian hadiah. Peristiwa itu dapat berlangsung di semua tempat seperti di rumah, di kantor, di gedung pertemuan dan sebagainya. Dalam setiap peristiwa khusus tersebut di atas dilakukan upacara tertentu berupa sambutan atau pidato singkat seperti pidato selamat datang, selamat atas kesuksesan, selamat jalan, selamat berkenalan dan sebagainya.
Berdasarkan peristiwa khusus itu, berbicara atau pidato dapat digolongkan dalam enam jenis, yakni:
1. pidato presentasi
2. pidato penyambutan
3. pidato perpisahan
4. pidato jamuan (makan malam)
5. pidato perkenalan
6. pidato nominasi (mengunggulkan)
(Logan dkk, 1972: 127 – 129)
Sesuai dengan peristiwanya, maka isi pidatonya pun harus pula mengenai peristiwa yang berlangsung. Pidato presentasi ialah pidato yang dilakukan dalam suasana pembagian hadiah. Pidato sambutan atau penyambutan berisi ucapan selamat datang pada tamu. Pidato perpisahan berisi kata-kata perpisahan. Pidato jamuan makan malam berupa ucapan selamat, mendoakan kesahatan buat tamu dan sebagainya. Pidato memperkenalkan berisi penjelasan pihak yang memperkenalkan tentang nama, jabatan, pendidikan, pengalaman kerja, keahlian yang diperkenalkan kepada tuan rumah. Pidato mengunggulkan berisi pujian, alasan, mengapa sesuatu itu diunggulkan.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS BERBICARA
Dari modul-modul di muka telah anda ketahui bahwa berbicara merupakan salah satu aspek kegiatan berbahasa. Menurut bentuknya, ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan ini adalah ragam bahasa lisan. Ragam ini terwujud dalam rangkaian bunyi-bunyi ujaran yang diucapkan pihak berbicara sesuai dengan sistem bahasa yang digunakannya.
Makna tersirat dalam suatu ajaran bersumber pada maksud atau gagasan pembicara itu sendiri. Peristiwa pengubahan gagasan hingga menjadi bentuk ujaran seperti di atas termasuk peristiwa berbahasa yang produktif. Dengan kata lain, istilah berbicara mengacu pada pengertian kegiatan berbahasa lisan secara produktif.
Suatu gagasan bisa diucapkan secara singkat maupun secara panjang lebar. Contoh:
1. “Halaman sepuluh!”
2. “Buka halaman sepuluh!”
3. “Kamu telah mempelajari buku ini sampai dengan halaman sembilan. Sekarang kita akan melanjutkan pelajaran itu. Karena itu, bukalah buku itu, dan bacalah mulai halaman sepuluh!”
Dari contoh di atas, ternyata efektivitas berbicara tidak ditentukan oleh singkat tidaknya bahasa yang terucapkan, melainkan ditentukan oleh derajat komunikatif ragam bahasa yang digunakan.
Sehubungan dengan hal di atas, faktor-faktor apakah yang mempengaruhi derajat komunikatif ragam bahasa yang digunakan sehingga tercipta efektivitas berbicara? Untuk itu, cobalah Anda telaah faktor-faktor yang mendukung kedua macam hasil uji coba yang Anda lakukan seperti di atas!
Dalam mengukur efektivitas berbicara dari kedua contoh diatas, ada dua pihak pelaku yang terlibat langsung dalam kegaiatan komunikasinya. Dalam, komunikasi serupa itu, pihak pembicara dan penyimak dapat saja terjadi misalnya antara penjual dengan pembeli atau sebaliknya, atasan dengan bawahan atau sebaliknya, ayah atau ibu dengan anaknya atau sebaliknya, tuan rumah dengan tamu atau sebaliknya, penyiar dengan pendengar, mubaligh dengan jemaah dan sebagainya.
Dalam kegiatan komunikasi, pembicara merupakan sumber gagasan. Gagasan pembicara bersifat abstrak. Tak ada seorangpun tahu akan gagasan yang dimilki seorang pembicara. Gagasan ini baru diketahui setelah pembicara menyampaikan pesan melalui gejala perilakunya yang diwujudkan dalam bentuk ujaran. Dalam hal ini pun pengetahuan penyimak tentang gagasan atau pesan itu terbatas pada kemampuannya untuk menafsirkan makna ujaran tersebut. Hasil penafsiran makna ujaran itulah yang merupakan “kesan” bagi penyimak. Peristiwa pengubahan bentuk ujaran yang dilakukan penyimak hingga diperolehnya sebuah kesan termasuk kegiatan berbahasa secara reseptif. Jadi, dalam kedudukan komunikasinya, kegiatan berbicara dapat dilukiskan seperti berikut:
Pembicara Penyimak
(Produktif) (Reseptif)
Dalam bagian di atas komunikasi antara pembicara dengan penyimak terjadi melalui kegiatan produktif dan reseptif. Peralihan kedua kegiatan itu terjadi pada ujaran yang dinyatakan sebagai bahasa lisan. Dengan kata laian, ragam ujaran yang digunakan dalam komunikasi itu merupakan alat transmisi yang mengkomunikasikan pembicara dengan penyimak.
Betapapun banyak ragam bahasa, fungsi bahasa di mana-mana sama. Bahasa merupakan alat komunikasi sosial. Bahasalah yang menghubungkan individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok, dan bahasa pulalah yang mempersatukan individu-individu menjadi kelompok, dan kelompok-kelompok hingga menjadi kelompok yang lebih besar. Bahasa lahir dari budaya sosial, dan bahasa pulalah yang menyebabkan kebudayaan berkembang. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahasa sebagai pembeda manusia dan binatang.
Selain bahasa sebagai hasil kehidupan sosial, bahasa berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Berkembangnya budaya masyarakat, sebagaimana dikemukakan di atas, banyak dipengaruhi oleh faktor bahasa. Meluasnya bahasa Indonesia ke pelosok-pelosok menyebabkan berubahnya budaya masyarakat indonesia. Dikuasainya satu ragam bahasa Indonesia oleh seseorang, bisa mengangkat ataupun menurunkan status sosial seseorang di masyarakatnya.
Pada hakikatnya, bahasa tidak lain dari seperangkat bunyi-bunyi ujaran yang ditata sedemikian rupa sesuai dengan makna yang tersirat di dalamnya. Bunyi-bunyi ujaran merupakan perangkat bahasa yang bersifat kongkret. Bunyi-bunyi ujaran ini bersifat fisis dan dapat diamati pula secara fisis. Karena itu sesuai dengan sifatnya, perangkat bahasa semacam ini biasa disebut “bentuk bahasa”. Sebaliknya, makna yang tersirat dalam bentuk bahasa bersifat abstrak atau mujarad. Untuk memahami makna bahasa diperlukan adanya kemampuan menafsirkan maksud pembicara sesuai dengan bentuk-bentuk bahasa yang teramati. Untuk menguasai bahasa diperlukan proses yag panjang melalui peristiwa pemerolehan atau pembelajaran bahasa. Sesuai dengan proses tersebut, pada umumnya bagi masyarakat Indonesia merupakan bahasa kedua. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia termasuk masyarakat dwibahasawan. Artinya, di samping bahasa Indonesia, masyarakat Indonesia telah menguasai salah satu bahasa daerah sebagai bahasa ibunya. Dalam peristiwa komunikasinya sering terjadi kontak di antara kedu abahasa tersebut. Hal ini pun berpengaruh terhadap efektivitas berbicara yang dilakukan dalam bahasa Indonesia. Hal semacam ini bukan saja berpengaruh terhadap pihak pembicara, tetapi juga pada pihak penyimak.
Lebih dari itu, para pemakai bahasa Indonesia banyak pula yang lebih menguasai bahasa asing. Karena itu, kontak bahasa bukan hanya terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, tetapi juga antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
Sehubungan dengan hal di atas, faktor-faktor apa pula yang berperan dalam diri pembicara agar dalam mengemukakan gagasannya tercapai tingkat efetivitas berbicara yang tinggi sesuai dengan maksud pembicaraannya.
Kegiatan berbicara hanya terjadi bila dalam fase awalnya pembicara itu sendiri memiliki gagasan. Gagasan ini merupakan pesan psikologis yang baru diketahui gejala-gejala perilakunya dalam bentuk ujaran. Sebelum diungkapkan, gagasan atau pesan ini ditata menurut pengetahuan linguistik atau bahasa yang telah diperolehnya melalui pengalamannya dalam peristiwa pemerolehan atau pembelajaran bahasa. Penataan tersebut dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan dalam segi komunikasinya:
1. tujuan komunikasinya
2. materi komunikasinya
3. cara berkomunikasi
4. efek komunikasi
Pada butir (1) tersirat maksud-maksud pembicara sehubungan dengan gagasan atau pesan yang dimilikinya. Dalam hal ini terjadi petimbangan, untuk apa komunikasi itu dilakukan:untuk memberitahukan (informatif), meminta jawaban (interogatif), menyuruh atau melarang (imperatif), mengajar atau meyakinkan (persuasif), dan sebagainya.
Pada butir (2) pembicara menetapkan pesan apa saja yang selayaknya dikemukakan dalam pembicaraannya. Pertimbangan ke arah ini dilakukan dengan tujuan bicara. Kesalahan dalam menetapkan materi komunikasi membuka peluang gagalnya dan rendahnya efektivitas berbicara.
Sesuai dengan kemampuan linguistiknya, pada butir (3) pembicara mempertimbangkan, apakah komunikasi itu cukup dilakukan secara verbal, ataukah diperlukan teknik lainnya yang sifatnya nonverbal.
Pada tahap akhir (4) pembicara mempertimbangkan efek atau kemungkinan yang terjadi dengan komunikasi yang akan dilakukannya. Apakah dengan cara tersebut akan diperoleh efektivitas berbicara yang diharapkan atau tidak.
Situasi komunikasi dalam berbagai lingkungan kehidupan atau kegiatan berbeda-beda. Situasi komunikasi di kelas, misalnya, berbeda dengan situasi komunikasi pasar, kantor, rumah, masjid, jalan raya, dan sebagainya. Situasi komunikasi semacam ini ditandai oleh adanya ragam bahasa yang berbeda-beda. Demikianlah, situasi serupa yang sering teralami oleh pihak pembaca dan penyimak, menyebabkan adanya saling memahami di antara kedua belah pihak, dan adanya saling memahami di antara mereka terhadap ragam bahasa atau ujaran yang digunakannya. Dalam situasi yang serupa akan memahami ucapan bahasa Indonesia walaupun diucapkan dalam logat yang berbeda, dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal di atas, ada empat faktor yang jalin-menjalin dan besar pengaruhnya terhadap efektivitas berbicara: situasi, pembicara, penyimak, dan ragam ujaran. Hubungan keempatnya dapat dilukiskan seperti berikut.
Berbicara merupakan kegiatan yang bersifat verbal. Artinya, berbicara dilakukan melalui bahasa ujaran sebagai alat transmisinya. Walaupun demikian, untuk menunjang aspek komunikasinya, dalam situasi tertertu diperlukan adanya teknik-teknik bicara yang sifatnya nonverbal. Gerak-gerik, sikap bicara, mimik, dan sebagainya merupakan teknik bicara yang sifatnya nonverbal dalam menunjang tercapainya tujuan komunikasi verbal. Teknik semacam ini lebih banyak ditentukan oleh faktor situasi lingkungan komunikasi.
Situasi bicara mengacu pada keadaan lingkungan tempat kegiatan berbicara diselenggarakan. Situasi bicara dapat diklasifikasikan atas situasi geografis dan situasi sosial. Keduanya memiliki pengaruh yang besar terhadap efektivitas berbicara, baik yang sifatnya verbal maupun nonverbal.
Situasi geografis menunjukkan keadaan fisis lingkungan bicara. Keadaan pantai dengan suara ombak dan gelombang serta angin yang bertiup kencang, misalnya, mempengaruhi kondisi pembaicara dalam komunikasinya dengan penyimak. Untuk mengatasi pengaruh itu, pembicara dituntut untuk memperkeras volume suara agar dapat diterima baik oleh penyimaknya. Begitu pula, berbicara di depan massa di tengah lapangan yang luas atau aula yang besar memerlukan pengeras suara sebagai hasil kemajuan teknologi, dalam usaha memantapkan komunikasi. Demikianlah, teknik nonverbal merupakan bagian kegiatan bicara yang menyertai komunikasi sehubungan dengan situasi geografis yang setiap saat diadaptasi pembicara berpengaruh besar terhadap kebiasaan atau sifat pembicara dalam setiap berkomunikasi. Situasi semacam ini menyebabkan adanya pembicara yang terbiasa dengan suara keras, lemah, perlahan-lahan, dan sebagainya.
Situasi sosial berbeda-beda dalam setiap lingkungannya. Sebagi makhluk yang berbudaya, faktor sosial tidak dapat dipisah dari faktor budayanya. Karena itu, kedua faktor tersebut menjalin kesatuan yang tak terpisahkan, dan biasa disebut dengan istilah sosio-kultural. Faktor tersebut mencakup status sosial, tingkat pendidikan, lingkungan kerja, hubungan kekerabatan, tata kemasyarakatan, dan sebagainya.
Dalam setiap lingkungan sosial terdapat norma-norma yang mengikat anggotanya dalam satuannya. Di sini ada norma seharusnya dilakukan, selayaknya dilakukan, tidak boleh dilakukan, dan tidak selayaknya dilakukan. Semuanya ini tercermin dalam berbagai komunikasi yang terjadi, termasuk komunikasi dalam kegiatan berbicara. Sesuai dengan norma-norma yang berlaku, pembicara dituntut untuk mengetahui, memahami, dan melaksanakan apa-apa yang harus dikatakan, tidak boleh dikatakan, selayaknya dikatakan, dan tidak selayaknya dikatakan. Dia harus tahu, kepada siapa hal itu dikatakan atau tidak boleh dikatakan, dimana dikataknnya, dan bagaimana pula cara yang sebaik-baiknya untuk mengatakan hal itu.
Ada berbagai situasi sosial menyebabkan adanya ragam bahasa yang berlaku dalam setiap lingkungan sosial. Dalam situasi resmi, misalnya, digunakan ragam bahasa Indonesia dalam lingkungan keluarga, dalam organisasi pemuda, di kantor, di pabrik, di pasar, dan sebagainya. Semuanya ini menuntut adanya pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan pembicara dalam mengemukakan gagasannya sesuai dengan situasi sosial yang dihadapinya.
Khusus dalam komunikasi verbal, penataan linguistiknya dilakukan melalui fase fatis, proporsional, ilokutif, dan ekspresi. Pada fase pertama (fatis) pembicara menata bunyi-bunyi ujaran menjadi kelompok-kelompok bunyi yang berupa kata, frase, kalimat, ataupun wacana. Hasil penataan ini dimaksudkan sebagai tawaran terhadap pihak penyimak untuk ditanggapi. Peristiwa penataan semacam ini dilakukan pada fase kedua (proporsional). Pada tahap ketiga (ilokutif) pembicara menata kembali penawarannya yang memungkinkan penyimak mampu menafsirkankannya. Keseluruhan hasil penataan ini dinyatakan ke dalam bentuk ucapan sebagai pengungkapan atau ekspresi pembicara.
Demikianlah, dalam berbicara terdapat dua macam kegiatan yang terlibat langsung dalam diri pembicara sebagai individu:
1. kegiatan psikhis
2. kegiatan fisis
Kegiatan yang pertama menyangkut kegiatan pembicara dalam segi penataan gagasan. Kegiatan kedua menyangkut kegiatan dalam pengungkapan bunyi-bunyi ujaran hingga menjadi bahasa ujaran yang ditanggapi dengan oleh penyimaknya. Perubahan dari segi gagasan hingga menjadi ujaran terjadi karena peristiwa penyandian dilakukan pembicaraan sesuai dengan kemampuan linguistik yang diperolehnya sebagi hasil pemerolehan atau pembelajaran bahasa. Dalam peristiwa penyandian ini faktor saraf (neuron) berperan dalam menfungsikan organ-organ bicara untuk menghasilkan ujaran. Saraf tersebut dikenal dengan istilah “saraf motorik”. Kegiatan pengucapan bunyi-bunyi ujaran hingga menjadi bentuk ekspresi tidak lain adalah kegiatan pembicara dalam segi fisis.
Kegiatan semacam ini terjadi juga pada pihak penyimak. Dalam perbedannya dengan kegiatan pembicara, kegiatan penyimak didahului dengan kegiatan fisis yang selanjutnya diikuti dengan kegiatan psikis. Dalam komunikasi yang efektif, pesan yang disampaikan pembicara akan diterima dengan baik sebagaimana kesan yang diperoleh penyimak. Karena itu, efektivitas berbicara hanya diketahui berdasarkan evaluasi yang dilakukan terhadap pesan penyimak terhadap pembicaraan yang diresepsinya.
CIRI PEMBICARA IDEAL
Setiap manusia yang dilahirkan dalam normal sudah memiliki potensi terampil berbicara. Potensi tersebut akan menjadi kenyataan bila dipupuk, dibina, dan dikembangkan melalui latihan yang sistematis, terarah, dan berkesinambungan. Tanpa latihan, potensi itu tetap berupa potensi. Kenyataan ini sudah disadari oleh para ahli pengajaran bahasa sehingga ada kecenderungan menggalakkan pengajaran berbicara di sekolah.
Pengetahuan tentang ciri-ciri pembicara yang sangat baik bermanfaat bagi mereka yang sudah tergolong pembicara yang baik, apalagi bagi mereka yang tergolong pembicara yang kurang baik dan bagi pembicara dalam taraf belajar. Bagi golongan kedua sangat pantas dipahami dan diikuti serta menghilangkan kebiasaan buru selama ini mungkin dilakukannya secara tak sadar. Bagi golongan ketiga pengetahuan tentang ciri-ciri penyimak yang baik itu dapat digunakan sebagai pedoman belajar berbicara.
Berikut ini disajikan sejumlah ciri-ciri pembicara yang baik untuk dikenal, dipahami, dan dihayati, serta dapat diterapkan dalam berbicara. Ciri-ciri tersebut antara lain:
Memilih Topik Tepat
Pembicara yang baik selalu dapat memilih materi atau topik pembicaraan yang menarik, aktual, dan bermanfaat bagi pendengarnya. Dalam memilih materi pembicaraan ia selalu mempertimbangkan minat, kemampuan, dan kebutuhan pendengarnya. Sebab dia tahu benar apabila materi pembicaraan berkenan di hati pendengar maka perhatian mereka pun secara otomatis akan besar pula pada penyajian materi itu.
Menguasai Materi
Pembicara yang baik selalu berusaha memahami materi yang akan disampaikannya. Jauh sebelum pembicaraan berlangsung yang bersangkutan sudah mempelajari, memahami, menghayati, dan menguasai materi pembicaraan. Ia tidak segan-segan menelaah berbagai sumber acuan, seperti buku, majalah, dan artikel yang berkaitan dengan materi pembicaraan itu. Ia pun tidak segan-segan menilik materi itu dari berbagai sudut pandang sehingga jelas kaitannya dengan ilmu yang relawan, jelas pula manfaatnya bagi pendengarnya. Jika kebetulan pembicara ahli di bidang yang akan disampaikannya itu maka penguasaan terhadap materi semakin lebih tajam lagi.
Memahami Latar Belakang Pendengar
Sebelum pembicaraan berlangsung pembicara yang baik berusaha mengumpulkan informasi pendengar, misalnya tentang:
a. jumlahnya
b. jenis kelamin
c. pekerjaannya
d. tingkat pendidikannya
e. minatnya
f. nilai yang dianut
g. serta kebiasannya
Bahkan perasaan pendengar kepada topik yang akan disampaikannya sudah diramalkannya apakah simpati, antipati, atau acuh tak acuh.
Semua data mengenai pendengar beserta sikap mereka dipahami dan dihayati serta dijadikannya oleh pembicara itu sebagai landasan pentusun strategi berbicara. Penyimak yang baik selalu berusaha memahami latar belakang pendengarnya.
Mengetahui Situasi
Pembicara yang baik selalu berusaha memahami dan mengetahui situasi yang menaungi pembicaraan. Karena itu dia tidak segan-segan mengidentifikasi mengenai ruangan, waktu, peralatan penunjang berbicara, dan suasana.
Identifikasi ruangan, tempat, atau lokasi di mana peristiwa berbicara berlangsung menyangkut luasnya meja atau podium, tempat duduk, sirkulasi udara, akustiknya, dan sebagainya. Mengenai waktu apakah pagi hari, siang, sore, malam atau jam berapa. Sarana penunjang berkaitan dengan pengeras suara, penerangan, OHP, dan sebagainya. Mengenai suasana yang perlu diketahui apakah tenang, jauh dari keramaian, bising, atau gaduh.
Tujuan Jelas
Pembicara yang baik dapat merumuskan tujuan pembicaraannya dengan jelas, tegas, dan gamblang. Pembicara tahu persis ke mana ia hendak membawa para pendengarnya apakah hanya sekedar untuk menghibur mereka, memberi informasi, menstimulasi, meyakinkan, atau untuk menggerakkan pendengar.
Pembicara yang baik dapat merumuskan dengan pasti respon apa yang diharapkannya dari pendengarnya pada akhir pembicaraan. Ke arah repon yang diharapkan itulah pendengar digiringnya.
Kontak Dengan Pendengar
Pembicara yang baik selalu mempertahankan pendengarnya. Ia berusaha memahami reaksi emosi, dan perasaan mereka. Ia berusaha mengadakan kontak batin dengan pendengarnya melalui pandangan mata, perhatian, anggukan, atau senyuman.
Pendengar yang merasa diperhatikan dan dihargai oleh pembicara akan bersifat positif terhadap pembicara dan pembicaraannya. Ia akan lebih memperhatikan pembicara dan pembicarannya, ia juga menunjukkan sikap yang simpatik, mendukung, dan memberi semangat pada pembicara.
Kemampuan Linguistiknya Tinggi
Pembicara yang baik dapat memilih dan menggunakan kata, ungkapan, dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan jalan pikirannya. Ucapannya jelas, lafalnya baik, intonasinya tepat dalam berbahasa. Ia juga dapat memilih dan menggunakan kalimat yang sederhana dan efektif dalam membeicarakan materi pembicaraannya.
Pendek kata pembicara yang baik memiliki kemampuan linguistik yang tinggi sehingga yang bersangkutan dapat menyesuaikan penggunaan bahasa dengan kemapuan pendengarnya. Ia pun dapat menyajikan materi pembicaraannya dalam bahasa efektif, sederhana, dan mudah dipahami. Tidak hanya itu dia fasih berbicara lancar mengkomunikasikan sesuatu.
Mengusai Pendengar
Salah satu ciri pembicara yang baik adalah pandai menarik perhatian pembicara. Dengan gaya yang menarik dia menemukan, dia mengarahkan pendengar kepada pembicaraannya. Ia pun dapat menggerakkan pendengar ke arah tujuan pembicaraanya.
Bila pendengar sudah terpusat, terarah perhatiannya kepada pembicara dan pembicaranya maka pembicara berarti dapat menguasai, mengontrol, dan mempengaruhi pendengarnya. Dengan situasi seperti itu dapatlah dipastikan tujuan pembicara akan berhasil.
Memanfaatkan Alat Bantu
Dalam menjelaskan materi pembicaraan, pembicara yang baik selalu menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, dan efektif. Untuk lebih memudahkan pendengar memahami penjelasannya, dia memanfaatkan alat-alat bantu seperti skema, diagram, statistik, gambar-gambar, dan sebagainya. Dia pun pandai mencarikan contoh ilustrasi yang mengena dan sesuai dengan lingkungan pendegarnya. Lebih dari itu dia pun secara tepat tahu kapan, dimana, pemanfaatan alat-alat bantu itu.
Gaya bahasanya menarik. Uraiannya meyakinkan karena ia menguasai materi pembicaraan. Bahasanya sederhana, mudah dicerna, tetapi efektif dalam mengkomunikaikan materi pembicaraannya.
Ia percaya diri, tampil dengan anggun dan berwibawa namun sederhana. Tingkah laku, gerak-gerik, cara berpakaian, atau berdandan sopan serasi dengan kepribadiannya. Ia benar-benar memikat hati pendengarnya.
Pembicara yang baik selalu tampil meyakinkan dari segala sisi. Isi pembicaraan ia kuasai, cara penyampaian ia kuasai. Situasi dan latar belakang pendengar ia pahami. Tingkah laku, gaya bicara, cara berpakaian, dan sebagainya tidak tercela.
Berencana
Pembicara yang baik selalu berencana meyakini kebenaran isi ungkapan; sesuatu yang direncanakan hasilnya lebih baik dari yang tidak direncanakan. Makna ungkapan tersebut dia terapkan dalam mempersiapkan pembicaraannya mulai dari:
a. memilih topik
b. memahami dan menguji topik
c. menganalisis pendengar dan situasi
d. menyusun rencana kerangka pembicaraan
e. mengujicobakan
f. meyakinkan
Sebelum tampil berbicara di depan pendengarnya yang berangkutan sudah mengantisipasi pelaksanaannya dalam bentuk skenario pelaksanaan. Dia juga sudah membayang-bayangkan bila ada perubahan situasi harus berubah pelaksanaan dan bagaimana cara mengatasinya. Walaupun rencananya sudah matang dan pasti yang bersangkutan dapat menyesuaikan pelaksanaannya dengan situasi yang berubah.
MERENCANAKAN PEMBICARAAN
Dalam kehidupan ini, manusia sering dihadapkan dengan situasi yang menuntutnya terampil berbicara. Kalau anda bertemu dengan teman yang lama tidak berjumpa, anda pasti ingin menyatakan rasa rindu, pengalaman, atau keadaan diri anda. Di samping itu anda pun pasti ingin mengetahui keadaan sahabat anda itu. Apa-apa yang dikerjakannya, bagaimana kemajuan usahanya, bagaimana keadaan keluarganya dan sebagainya. Dalam situasi seperti itu anda harus terampil menyatakan diri anda melalui berbicara. Anda juga harus tearmpil mengorek informasi melalui sejumlah pertanyaan. Kalau anda menghadiri pertemuan, perpisahan, atau pesta ada kemungkinan anda diminta untuk menyampaikan sambutan selamat datang, kata-kata perpisahan, atau nasihat-nasihat. Apalagi bila anda diundang menghadiri diskusi, seminar, lokakarya, dan sebagainya anda pun harus terampil berbicara menyampaikan ceramah, pendapat, pikiran dan saran anda.
Keterampilan berbicara di depan khayalak ramai, istilah asingnya public speaking, tidak akan muncul begitu saja pada diri seseorang. Keterampilan itu diperoleh setelah melalui berbagai latihan dan praktek penggunaannya. Karena itulah para ahli banyak menaruh perhatian terhadap upaya membina dan mengembangkan keterampilan berbicara itu.
Ehninger dkk.(1979) mengajukan delapan langkah yang harus dilalui dalam mempersiapkan suatu pembicaraan. Kedelapan langkah tersebut ialah:
a. menyeleksi dan memusatkan pokok pembicaraan
b. menentukan tujuan khusus pembicaraan
c. menganalisis pendengar dan situasi
d. mengumpulkan materi pembicaraan
e. menyusun ragangan/kerangka dasar (outline) pembicaraan
f. mengembangkan ragangan/kerangka dasar
g. menyajikan pembicaraan (Ehninger dkk, 1979:46)
Gorys Keraf (1980) mengusulkan tiga langkah pokok dalam merencanakan suatu pembicaraan. Ketiga langkah pokok itu ialah:
a. meneliti masalah
b. menyusun uraian
c. mengadakan latihan
Langkah pokok yang masih bersifat umum itu dapat dikembangkan menjadi langkah-langkah yang spesifik. Hasil pengembangan langkah yang bersifat umum menjadi langkah bersifat khusus adalah sebagai berikut:
a. menentukan maksud
b. menganalisis pendengar dan situasi
c. memilih dan menyempitkan topik
d. mengumpulkan bahan
e. membuat kerangka uraian
f. menguraikan secara mendetail
g. melatih dengan suara nyaring (Keraf, 1980: 317-318)
Wainringht (1979) menyarankan enam langkah yang harus dilalui dan dikuasai oleh seseorang agar tepat menjadi pembicara yang baik. Langkah-langkah yang disarankan oleh Wainright tersebut adalah:
a. memilih topik
b. memahami dan menguji topik
c. memahami latar belakang pendengar dan situasi
d. menyusun kerangka pembicaraan
e. mengujicobakan
f. menyajikan (Wainright, 1976: 68-69)
Tuesday, April 17, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment